Sabtu, 24 Maret 2012

It’s Okay, Daddy’s Daughter

Title: It’s Okay, Daddy’s Daughter
Author: Harnosa
Genre: Fan Fiction, Family, AU
Rate: G
Length: One Shot
Cast: Super Junior Lee Donghae, YOU, Sora (Your child and Lee Donghae)

PLIS, JANGAN ADA YANG NANGIS, SAYA NGGAK NYEDIAIN TISSUE GRATIS, HEHE
STYX jangan ditagih dulu. Harusnya saya hiatus bikin ff, tapi karena kegalauan, akhirnya ff ini tidak sengaja diketik.


Kalau malah jadi galau, baca RSJ aja deh habis ini XD



BLAAAAAR!! DHUAAAAR!!

Sora membuka mata dengan kaget dan langsung menjeritkan tangisnya.

“AYAAAAAAAAAAHH!!” panggilnya tanpa berani keluar dari balik selimutnya.

Ayahnya tidak datang, suara tangisannya kalah oleh suara petir, hujan, dan angin yang mengamuk di luar. Sora memejamkan mata rapat-rapat, menangis dan terus menangis ketakutan.

“Ayaaaah, Bundaaa,” ratapnya, merasa sendirian.

Tiba-tiba sepasang tangan yang besar dan hangat meraihnya dalam gendongan hangat. Ia tidak perlu membuka matanya karena hanya ada satu orang di dunia ini yang memiliki pelukan yang membuatnya merasa aman, juga selalu datang saat ia membutuhkannya. Ayahnya yang sangat disayanginya.

“Ayaaaah,” dia memeluk leher ayahnya.

“Sssst, Sayang, sudah, sudah…” bujuk ayahnya sambil mengelus-elus punggungnya.

“Ayaaaah, Soa takuuuut,” rengeknya pelan.

Petir menyambar lagi dan tangis Sora kembali mengencang, tapi kali ini hanya karena kaget, bukan lagi takut. Karena tidak ada yang bisa membuatnya takut jika dia ada dalam gendongan ayahnya.

“Mmm, anak Ayah takut? Ya udah, bobok sama Ayah sama bunda, ya…” bujuk ayahnya lagi.

Sora mengangguk, “Iyyaaa, maunya bobok cama Ayah aja…”

“Iya, iya… tapi, jangan nangis lagi, ya,” ayahnya menggendongnya ke kamar orang tuanya.

“Sora, Sayang? Sora kenapa Yah?” tanya bundanya khawatir ketika mereka berdua masuk.

Ayahnya berusaha menurunkan Sora dari gendongannya dan membaringkannya di kasur, tapi Sora memeluk leher ayahnya seolah itu adalah tali penyelamat yang akan mengangkatnya dari jurang. Akhirnya ayahnya berbaring sambil tetap memeluk Sora.

“Soa takut, mau bobok cini,” katanya pada bundanya.

Bundanya ikut berbaring di sebelah mereka, mengelus kepala Sora, lalu berkata, “Takut sama apa, Sayang?”

“Ituuu… petilnya ja’at, dual, duaaaaal, Soa kaget,” ia menunjuk ke luar jendela.

Ayahnya tertawa mendengar penjelasan yang polos itu, “Anak Ayah yang kuat, nggak boleh takut sama petir,” kata ayahnya.

“Tapi, ceyem, Ayaaaah,” rengeknya.

“Hmmm, besok pagi anak Ayah akan lihat kalau petir itu nggak serem,” kata ayahnya.

“Benel?” tanya Sora.

Ayahnya mengangguk, memeluk Sora, dan menyenandungkan nina bobo perlahan, sehingga hanya Sora dan bundanya yang bisa mendengarnya, kemudian ketiganya tidur saling berpelukan…

Hingga kemudian Sora terbangun oleh kicau burung yang bersahabat dan sinar matahari cerah yang merembes dari celah gorden dan sangat disukainya.

“Ayah, Bundaaa, bangun… udah pagi,” ia mengguncang-guncang kedua orang tuanya dengan tangan mungilnya.

Bundanya langsung terbangun, melihat matahari di balik gorden, dan berkata, “Wah, pagi yang cerah.”

Tapi ayahnya tetap berbaring dengan mata terpejam.

“Ayaaaaah,” Sora mengguncang-guncang tubuh ayahnya dengan kesal.

Ayahnya tetap tidak mau bangun.

“Ayaaaaaaah, aaaaaaa!!!” jeritnya di telinga ayahnya.

Bundanya tertawa, “Sini, Bunda ajarin cara bangunin ayah, begini…” bundanya mengecup pipi kanan ayahnya.

Ayahnya membuka sebelah matanya dan tersenyum iseng, lalu cepat-cepat memejamkan mata lagi.

“Kok Ayah dak bangun juga, Bunda?” tanya Sora kesal.

“Kan, pipi ayah yang sebelah lagi belum dicium, Sora cium ayah dulu, pasti ayah bangun,” tawa bundanya.

Sora mencium pipi ayahnya dan menunggunya membuka mata. Tapi, ayahnya hanya tersenyum dan bergumam, “Nggak kerasa, Sora…”

Sora memanjat tubuh ayahnya lalu menciumi pipinya, memukulinya, bahkan mencubiti ayahnya, “Banguun, Ayah banguuuuuun!!!” jeritnya sementara bundanya tertawa melihat usaha Sora.

Akhirnya ayahnya tidak tega membuatnya lebih kesal lagi dan bangun sambil tertawa dan mencubit pipi Sora gemas, “Iyaaaa, Ayah udah banguuuun.”

Sora melompat turun dari tempat tidur, kemudian menarik ayahnya dan memaksanya turun juga, kemudian mendekati jendela.

“Gendong,” pintanya.

Ayahnya menggendongnya, kemudian membuka jendela, memperlihatkan laut di pagi hari yang berwarna biru. Ombak berdebur lembut di pasir, angin bertiup lembut, hampir tidak ada secarik awan pun yang menghalangi sinar matahari.

Sora berdecak kagum, laut sekarang kelihatan seperti temannya, padahal semalam laut adalah musuh yang membuatnya takut.

“Cantik, kan?” tanya ayahnya.

“Mm,” angguknya semangat, “kok, bica, ci, Yah? Kan cemalam cerem?”

“Makanya, Ayah bilang jangan takut sama badai dan petir. Karena ada badai dan petir, makanya kita sekarang bisa lihat langit dan laut yang biru,” jawab ayahnya.

Sora tidak mengerti, sangat tidak mengerti hingga dia tidak bertanya lagi.

“Pokoknya, Sora nggak boleh takut, apalagi benci sama laut, badai, petir, dan semuanya. Oke?” tanya ayahnya.

“Oce,” angguk Sora.

“Janji?” ayahnya mengulurkan kelingkingnya.

Sora mengaitkan kelingking mungilnya pada kelingking ayahnya, “Janji.”

“Bagus… anak ayah memang hebat…” dan ayahnya tersenyum amat lembut…

***

“… ra… SORA!! Bangun, Nak, sudah setengah tujuh!!”

“Mmmm… SETENGAH TUJUH???” Sora melempar selimutnya, dan nyaris terbang ke kamar mandi. Sambil menggosok gigi, dia memprotes bundanya, “KEWAPA AKWU GWAK DIWAWUNGIN DAWI TADWI???”

“Enak aja nggak dibangunin! Dari jam lima subuh Bunda udah teriak-teriak,” balas bundanya.

Tanpa susah payah mandi, Sora langsung memakai seragamnya dan menyambar ransel sekolahnya.

“Nggak ada yang ketinggalan, kan? Pensil? Penghapus? Kartu peserta UAS-nya???” cek bundanya.

“Udah dimasukin semuanya semalem. Bunda, kaus kakiku ma—makasih!” ia mengenakan kaus kaki dan sepatunya dengan buru-buru, “Sora berangkat dulu, Bunda!”

“Tunggu! Paling nggak makan roti satu aja,” bundanya menyuapkan roti dengan selai cokelat ke mulutnya.

“Ma’ahih, Nda,” kata Sora tidak jelas sambil mengunyah rotinya dengan buru-buru, lalu berlari keluar rumah.

“Ngerjain soalnya yang tenang, ya! Semoga sukses UAS-nya!” lambai bundanya dari pintu rumah.

Sora berhenti dan berbalik, “Tenang aja, Nda, Sora pasti bisa UAS-nya, soalnya Sora mimpi ayah tadi! Ayah bilang Sora hebat!”

Bundanya tertegun sejenak, kemudian tersenyum lebar dan mengangguk. Sora melambaikan tangan sekali lagi dan berlari ke sekolahnya.

Bagus… anak ayah memang hebat…

***

__Tamat__

Tidak ada komentar:

Posting Komentar